Planetarium

Fina Lanahdiana
3 min readApr 29, 2020

--

(Buletin Mlaku! Ed. XI, April 2020)

Kenangan seperti sekumpulan titik yang meminta untuk dihubungkan. Demikian halnya ketika kita berbicara tentang kampung halaman. Ia seperti rentangan tangan yang telah lama kita tinggalkan, dan senantiasa siap menampung pelukan kita, sewaktu-waktu, kapan pun kita telah merasa siap untuk kembali. Ia selalu terbuka seperti seorang ibu yang meskipun telah berkali-kali ditinggalkan, akan selalu rela untuk menyiapkan diri menyambut kedatangan kita di depan pintu, menyiapkan masakan-masakan enak penuh bumbu rempah-rempah dengan aroma kehangatan, menciptakan pertanyaan apa kabar dengan menggebu dan penuh suka cita. Tidak ada kebohongan atau rahasia jenis apa pun yang sanggup untuk menutupi perasaan itu. Perasaan yang sungguh mustahil untuk bisa dilupakan begitu saja.

Tanpa hiasan, tanpa lukisan/Beratap jerami, beralaskan tanah/Namun semua ini punya kita
Memang semua ini milik kita, sendiri/Hanya alang alang pagar rumah kita/Tanpa anyelir, tanpa melati/Hanya bunga bakung tumbuh di halaman/Namun semua itu punya kita/Memang semua itu milik kita/

Tidak banyak lagu yang saya tahu, tetapi lagu milik God Bless yang berjudul "Rumah Kita" tersebut barangkali telah cukup mampu menggambarkan suasana rumah yang bagaimana pun keadaannya, akan selalu kita rindukan. Senantiasa.

Bagaimana pun, rumah kita memang telah mengikuti kita sebagai bayang-bayang yang kian memanjang, sementara kita berjalan menyusuri mimpi-mimpi yang tak benar-benar memiliki tepi. Jauh di depan. Ia senantiasa ada di belakang kita. Merangkum seluruh rasa yang kita yang mampu atau pun tidak untuk dibahasakan.
Masa lalu seolah-olah berada sangat dekat dengan kita, ia terus-menerus mengikuti langkah ke mana pun kita pergi, tetapi kita tak benar-benar mampu menjangkaunya. Ia seperti sebuah gambar hologram yang mampu kau putar berkali-kali, tapi tak cukup membiarkan dirimu masuk dan terlibat di dalamnya.

Barangkali membincangkan masa lalu dan kampung halaman tampak seolah tidak pernah terhubung, tetapi seperti kita tahu, sejak kita lahir kita telah terhubung dengan rumah, kampung halaman, pekarangan, sebagai masa lalu, menjelma jejak-jejak yang semakin kita tinggalkan. Kehidupan ini bukankah menuntut lebih agar kita bergerak tidak hanya berada di tempat? Kota-kota yang jauh seolah primadona yang diagung-agungkan sebagai jalan keluar yang kelak akan membawa kita, orang-orang rumah mentas dari hal-hal yang sebenarnya tetap bisa hidup sebagai suatu kesederhanaan.

Masa Kecil

Setiap kali saya berada di depan rumah, saya membayangkan bahwa pekarangan luas--yang ditumbuhi pohon-pohon, yang kini telah semakin disesaki bangunan-bangunan, juga aspal atas nama pembangunan desa demi kesejahteraan atau semacamnya, tidak jarang malah semakin memperparah kerusakan. Kadang-kadang saya berpikir bahwa barangkali kesimpulan itu keliru dan terlalu terburu-buru. Keliru di sini, bahwa halaman-halaman rumah kami yang luas itu, tanpa dijadikan aspal sekali pun tidak akan menjadi masalah yang berarti karena memang tidak digunakan sebagai akses jalan utama. Hal yang menurut saya akan semakin menggusur ciri khas kampung halaman yang kelak tidak lagi memiliki jeda pembeda dengan bangunan-bangunan yang ada di kota--sebagai sebuah planetarium yang tak perlu dengan susah payah kita ciptakan. Ia senantiasa ada, dengan ornamen-ormamen yang menyertainya. Bintang-bintang, bulan, planet-planet kecil, nebula, asteroid, meteor, dan benda-benda langit lainnya.

Ini mengingatkan kepada saya, ketika masih duduk di kelas 5 SD. Di sebuah malam yang tak terlalu saya ingat, ketika itu langit begitu terang dan dipenuhi bintang-bintang. Saya dan dua orang teman saya duduk, lantas berbaring di atas lincak. Kami menolak untuk segera pulang meskipun malam kian larut, bahkan hampir berkabut. Para orang tua kami tidak lantas mencari, karena kami tak pergi ke mana pun. Hanya di sini, di pekarangan rumah kami. Tangan kami menunjuk-nunjuk ke arah langit, pada benda-benda bergerak yang bercahaya.

"Bintang jatuh!"

Seorang teman saya berseru, dan saya membenarkannya. Bintang-bintang yang bergerak seolah jatuh dan biasa kami sebut lintang ngalih itu melintas berkali-kali dan kami ribut untuk membuat permohonan. Sesuatu yang kalau dipikir-pikir saat ini, adalah tampak lucu. Tapi, apa salahnya menciptakan kebahagiaan di dalam diri kami yang masih bocah ini tanpa seorang pun sanggup untuk merusaknya. Begitulah indahnya masa kecil kami yang senantiasa menjadi titik penghubung ingatan-ingatan lainnya tentang rumah, pekarangan, kampung halaman, dan partikel-partikel lain yang menyertainya. Pekarangan tak ubahnya sebuah planetarium yang menampung seluruh titik-titik bintang yang berpendar-pendar di atas langit, yang menyertai seluruh hidup kami sejak mulai dilahirkan sebagai manusia dengan membawa kedalaman-kedalaman yang tansparan seolah udara, tetapi ada.

--

--